Buku
karya R.C. Sproul ini terbagi atas 2 bagian, dimana Bagian Pertama yang terdiri
atas Bab 1 – Bab 5 berisikan tentang “Penderitaan dan Kematian” sedangkan
bagian lainnya (Bab 6 – Bab 9) berisikan tentang “Kehidupan Setelah Kematian”. Di
akhir buku setebal 152 halaman ini juga terdapat rangkuman serta lampiran dari
buku ini. Penulis memulai karyanya dengan suatu pertanyaan yang menarik,
“Bagaimana mungkin kita memikirkan kematian sebagai suatu panggilan?” Semua
manusia memiliki panggilannya yang berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan
kewajiban dan tugas yang diberikan Allah pada kita dalam kehidupan ini. Tapi
kita semua merasakan panggilan yang sama terhadap kematian yakni panggilan yang
kita sebut sebagai panggilan terakhir. Beberapa orang beranggapan bahwa adanya
peristiwa kematian merupakan hasil dari suatu ungkapan kemenangan setan
terhadap kekuasaan Allah. Namun ideologi ini merupakan suatu kesalahan yang
besar, selanjutnya penulis mengklarifikasikan ideologi tersebut dengan
mengungkapkan bahwa keberadaan setan memang ada namun yang perlu digarisbawahi
adalah setan tidaklah berdaulat sehingga setan tidak memegang kunci kematian
oleh sebab itu yang menentukan kematian seseorang bukanlah setan melainkan
Yesus yang memiliki kedaulatan yang kekal.
Sejak
awal pelayanan Yesus di dunia, Ia sadar akan misiNya yang telah ditentukan Bapa
kepadaNya yang menunjukkan bahwa Ia harus menderita dan mati. Yesus sadar akan
semua hal itu dan tidaklah terpikirkan oleh banyak orang-orang sejamanNya bahwa
Putera Allah tersebut harus menderita dan mati. Namun dengan suksesnya misi
itu, orang-orang yang percaya akan namaNya diberi kehidupan yang kekal. Untuk
itulah manusia harus tetap jalan di jalan yang benar hingga datangnya panggilan
terakhir dari Allah. Jalan yang bnar itu bukanlah jalan setan melainkan jalan
Allah. Jalan Allah adalah jalan salib, Via Dolorosa. Dalam jalan ini diajarkan
bahwa orang-orang yang percaya padaNya harus turut menderita sebab ada tertulis
tanpa kita siap untuk ikut serta dalam kehinaan Kristus, maka kita tidak akan
ikut serta dalam kemulianNya (2 Tim 2:11-12).
Selain
teori yang terkandung dalam alkitab mengenai Penderitaan dan Kematian, penulis
juga melengkapi karyanya dengan suatu studi kasus pada Bab 3. Pada bab ini
penulis menceritakan suatu cerita bertemakan “kisah Ayub” secara modern. Tujuan
dari studi kasus ini tentu saja menguraikan secara rinci sebab dari penderitaan
hebat yang dialami oleh Ayub. Melihat penderitaan tersebut tentu timbul
pertanyaan dibenak setiap insan bahwa “Adakah hubungan Dosa dengan
Pendertiaan?” Atas pertanyaan ini Yesus dengan tegas menjawab bahwa orang-orang
menderita karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia (Yoh
9:3). Sebab di dunia ini ada saatnya di mana penderitaan orang yang baik dan
saleh jauh lebih berat dibandingkan dengan kehidupan orang yang jahat. Jadi
suatu penderitaan terjadi karena Tuhan sendiri yang menghendaki hal tersebut
dan kita sebagai umatnya harus percaya apapun yang terjadi ada maksud dan
tujuan yang baik dari Sang Penyelamat kita.
Kadang
kita sering berpikir bahwa hal terburuk yang akan dialami oleh semua manusia
adalah kematian. Alkitab banyak berbicara tentang bagaimana kita akan mati. Dari suatu segi pandangan alkitabiah,
hanya ada dua kemungkinan cara manusia mati yakni mati dalam iman atau mati
dalam dosa. Disinilah suatu kesetian sebagai tolok ukur dalam kematian, apakah kehidupan manusia
sebelum mati mempunyai iman yang teguh atau tidak. Keadilan terakhir dan
penghakiman terakhir yang akan dijalani setelah kematian merupakan titik
penentu suatu kemenangan. Di saat ini pula keadilan akan diperlihatkan oleh
Yesus. Keadilan disini bukanlah keadilan yang terjadi di dunia yang menurut
pandangan tertentu adalah adil namun beberapa kubu lainnya menganggap hal
tersebut tidaklah adil melainkan keadilan yang Yesus tunjukkan akan diterima
oleh semua umat. Jadi jelas bahwa kematian bukanlah hal terburuk yang akan
dialami oleh manusia melainkan kematian dalam dosa.
Bab
ke 5 dari buku ini berbicara tentang iman dan penderitaan. Dengan indahnya
penulis mengatakan bahwa penderitaan adalah ujian iman. Tujuan iman kita adalah
keselamatan jiwa kita. Kalau kita menganggap penderitaan kita tidak berarti
seakan-akan tanpa tujuan maka kita bisa tergoda oleh rasa putus asa untuk
mengakhiri hidup. Ingatlah tindakan bunuh diri adalah hal keji di mata Yesus
karena sejatinya hanya Ialah semata yang dapat menentukan kematian seseoarang.
Pada bab ini penulis menekankan bahwa kematian bukanlah suatu akhir dari
kehidupan melainkan akan menuju pada kehidupan selanjutnya.
Selain
“Penderitaan dan Kematian”, “Kehidupan Setelah Kematian” juga merupakan hal
yang dianggap penting oleh penulis. Untuk memulai topik tersebut, penulis memberikan
pandangan populer tentang kehidupan setelah kematian yang ada di dunia. Sejak
kematian masuk ke Firdaus, pertanyaan kehidupan setelah kubur menjadi penting.
Secara menonjol setiap kebudayaan manusia mengembangkan beberapa bentuk harapan
dalam sehidupan setelah kubur. Orang-orang Mesir kuno menempatkan benda-benda
berharga di makam orang yang mereka
cintai dengan harapan benda-benda tersebut akan berguna dalam kehidupan
setelah mati. Orang-orang Indian Amerika punya konsep tersendiri tentang tanah
perburuan yang berharga, orang-orang Norwegia punya harapan akan Valhalla.
Orang Yahudi punya konsep bayangan akan Sheol, orang Yunani tentang Hades dalam
kegelapan tygia. Agama Timur menghadapinya secara baik dengan suatu pandangan
akan reinkarnasi. Namun fokus penulis dalam bab ini ada pada teori rekoleksi
oleh Socrates yang mengatakan bahwa jiwa sama dengan dewa, tidak mati,
intelektual, seragam, tidak melarut, tidak berubah dan bahwa tubuh sama dengan
manusia, mati, tidak intelektual, bermacam bentuk, melarut dan berubah. Namun
penulis secara jelas menentang akan teori tersebut seperti halnya teori
reinkarnasi.
Lebih
lanjut penulis menguraikan tentang Yesus dalam kehidupanNya setelah kematian.
Seperti yang telah diketahui oleh semua umat percaya bahwa Ia telah
mempersiapkan tempat buat umatnya dan suatu saat nanti Ia akan menjemput
umatnya agar dapat tinggal bersamaNya. Tidak hanya sampai disitu, penulis
bahkan menambahkan sembilan argumentasi Paulus untuk Kebangkitan yang berkaitan
dengan Yesus.
“Karena
bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Fil 1:21), dari
sepenggal ayat tersebutlah yang mendasari bab ini membicarakan mengenai
Keuntungan yang didapatkan setelah kematian. Tentu saja keuntungan yang paling
pokok ialah dapat tinggal bersama Yesus serta berkomunikasi langsung denganNya,
adapun gambaran lainnya bahwa kehidupan setelah kematian adalah lebih baik dari
kehidupan di atas bumi. Adapun penulis menjelaskan secara detail antara
kesinambungan dan ketidaksinambungan yang akan dihadapi dalam “kehidupan yang
akan datang” serta adanya tahap menengah antara saat-saat kematian dan
kebangkitan yang akan dialami oleh tiap pribadi.
Kita
semua punya kemampuan untuk bermimpi, membiarkan khayalan-khayalan kita
melayang tinggi. Namun, kalau mendorong kekuatan khayalan kita hingga batasnya,
maka kita terbentur pada hambatan yang tidak diketahui. Siapa yang bisa
membayangkan bagaimana sorga itu? Itu di luar pengetahuan atau penglihatan
kita. Itu di luar impian-impian kita yang paling ambisius. Dalam alkitab
sendiri ada beberapa “clue” tentang
penggambaran sorga yakni tidak adanya laut (laut dalam Yunani Kuno berarti
kejahatan), kota yang diselamatkan (tidak ada ancaman), akhir dari semua
kesedihan (tidak ada airmata dukacita, yang ada hanya airmata sukacita),
bercahaya, bertembok tebal (tembok merupakan simbol pertahanan dalam dunia
kuno), tidak adanya Bait Suci (karena Yesus sendirilah Bait Suci tersebut),
pencabutan atas segala kutukan serta penglihatan yang membahagiakan.
Di
akhir buku ini terdapat bab khusus untuk kesimpulan yang mencakup garis besar
dalam buku ini yang menyatakan bahwa ada tiga nilai besar dalam Kristen yang
harus dimiliki oleh umat percaya hingga tiba hari penghakiman terakhir yakni iman, kasih serta pengharapan. Iman yang berarti setia pada Yesus hingga titik darah
penghabisan, kasih yang berarti saling mengasihi sesama umat manusia yang
menjadi simbol dari Kekristenan itu sendiri serta adanya pengharapan yang
berakar dalam kekuasaan Allah. Pengharapan di balik penderitaan merupakan
warisan Kristus. Itu merupakan janji Allah pada semua orang yang percaya
padaNya.
Ada
hal menarik pada buku ini karena adanya lampiran yang berisikan tanya jawab
tentang kematian dan kehidupan setelah kematian. Menurut saya pribadi, bagian
ini merupakan bagian yang paling menarik karena beberapa pertanyaan saya yang
belum saya dapatkan pada isi buku mengenai kematian dan kehidupan setelah
kematian ada pada lampiran ini dan jawaban dari pertanyaan tersebut sangat
memuaskan hati saya.
Secara
keseluruhan buku ini membuka mata saya yang buta akan kematian serta dunia
setelah kematian. Dulu ketika saya masih kecil, saya diajarkan oleh guru
sekolah minggu saya bahwa jika saya berbuat baik maka saya akan masuk sorga
dikemudian hari. Hanya dari setitik pengetahuan itu modal saya dalam menjalani
kehidupan ini, namun setelah membaca buku ini saya medapat pengetahuan yang
super mendetail akan kematian serta kehidupan setelahnya. Kadang saya berpikir
bagaimana kehidupan saya setelah kematian? bagaimana wujud saya? Bagaimana
keadaan saya? Bagaimana dengan keluarga saya? Bagaimana dengan sahabat-sahabat
saya? Namun kembali lagi Tuhan Yesus mengingatkan saya dalam Yoh 14:1
“Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku” agar
saya senantiasa berserah kepada Yesus dan mengandalkanNya dalam berbagai
situasi yang saya hadapi. Saya secara terkhusus berterimakasih kepada pak Satya
Hedipuspita karena tanpa tugas yang diberikan ini saya tidak akan mungkin
membaca buku ini.